AMIR HAMZAH
Padamu Jua
Habis kikis
segala cintaku hilang terbang
pulang kembali aku padamu
seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
pelita jendela di malam gelap
melambai pulang perlahan
sabar, setia selalu.
Satu kekasihku
aku manusia
rindu rasa
rindu rupa.
Di mana engkau
rupa tiada
suara sayup
hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
engkau ganas
mangsa aku dalam cakarmu
bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
sayang berulang padamu jua
engkau pelik menarik ingin
serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
menunggu seorang diri
lalu waktu - bukan giliranku
mati hari - bukan kawanku.
Hanyut Aku
Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku!
ulurkan tanganmu, tolong aku.
sunyinya sekelilingku !
tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati,
tiada air menolak ngelak.
Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku
sebabkan diammu.
Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam
Tenggelam dalam malam,
air di atas menindih keras
bumi di bawah menolak ke atas
mati aku, kekasihku, mati aku !
Doa Poyongku
Poyangku rata meminta sama
semoga sekali aku diberi
memetik kecapi, kecapi firdausi
menampar rebana, rebana swarga
Poyangku rata semua semata
penabuh bunyian kerana suara
suara sunyi suling keramat
kini rebana di celah jariku
tari tamparku membangkit rindu
kucoba serentak genta genderang
memuji kekasihku di mercu lagu
Aduh, kasihan hatiku sayang
alahai hatiku tiada bahagia
jari menari doa semata
tapi hatiku bercabang dua.
Hanya satu
Timbul niat dalam kalbumu;
terban hujan, ungkai badai
terendam karam
runtuh ripuk tamanmu rampak
Manusia kecil lintang pukang
lari terbang jatuh duduk
air naik tetap terus
tumbang bungkar pokok purba
Teriak riuh/redam terbelam
dalam gagap/gempita guruh
kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi
Terapung naik jung bertudung
tempat berteduh Nuh kekasihmu
bebas lepas lelang lapang
di tengah gelisah, swara sentosa
Bersemayam sempana di jemala gembala
juriat jelita bapaku Ibrahim
keturunan intan dua cahaya
pancaran putera berlainan bonda.
Kini kami bertikai pangkai
di antara dua, mana mutiara
jauhari ahli lalai menilai
lengah langsung melewat abad
Aduh, kekasihku
padaku semua tiada berguna
hanya satu kutunggu hasrat
merasa dikau dekat rapat
serupa Musa di puncak Tursina.
TAUFIQ ISMAIL
LARUT MALAM SUARA SEBUAH TRUK
Oleh :
Taufiq Ismail
Oleh :
Taufiq Ismail
Sebuah Lasykar truk
Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
‘Sudah Bebas Negeri Kita’
Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
‘Sudah Bebas Negeri Kita’
Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun terjaga :
‘Ibu, akan pulangkah Bapa,
dan membawakan pestol buat saya ?’
(1963)
Empat tahun terjaga :
‘Ibu, akan pulangkah Bapa,
dan membawakan pestol buat saya ?’
(1963)
(http://zhuldyn.wordpress.com)
BAGAIMANA KALAU
Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam,
tapi buah alpukat,
Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat,
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah,
dan kepada Koes Plus kita beri mandat,
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi,
dan ibukota Indonesia Monaco,
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas,
salju turun di Gunung Sahari,
tapi buah alpukat,
Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat,
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah,
dan kepada Koes Plus kita beri mandat,
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi,
dan ibukota Indonesia Monaco,
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas,
salju turun di Gunung Sahari,
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin
dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop,
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia
dibayar dengan pementasan Rendra,
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi,
dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan,
dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop,
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia
dibayar dengan pementasan Rendra,
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi,
dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan,
Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya
sehingga di
kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki
pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara
percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan
margasatwa Afrika,
kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki
pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara
percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan
margasatwa Afrika,
Bagaimana kalau pemerintah
diizinkan protes dan rakyat kecil
mempertimbangkan protes itu,
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita
pelihara ternak sebagai pengganti
Bagaimana kalau sampai waktunya
kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.
mempertimbangkan protes itu,
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita
pelihara ternak sebagai pengganti
Bagaimana kalau sampai waktunya
kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.
(1971)
(http://zhuldyn.wordpress.com)
BAYI LAHIR BULAN MEI 1998
Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga
Suaranya keras, menangis berhiba-hiba
Begitu lahir ditating tangan bidannya
Belum kering darah dan air ketubannya
Langsung dia memikul hutang di bahunya
Rupiah sepuluh juta
Suaranya keras, menangis berhiba-hiba
Begitu lahir ditating tangan bidannya
Belum kering darah dan air ketubannya
Langsung dia memikul hutang di bahunya
Rupiah sepuluh juta
Kalau dia jadi petani di
desa
Dia akan mensubsidi harga beras orang kota
Kalau dia jadi orang kota
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya
Kalau dia bayar pajak
Pajak itu mungkin jadi peluru runcing
Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing
Dia akan mensubsidi harga beras orang kota
Kalau dia jadi orang kota
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya
Kalau dia bayar pajak
Pajak itu mungkin jadi peluru runcing
Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing
Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga
Mulutmu belum selesai bicara
Kau pasti dikencinginya.
Mulutmu belum selesai bicara
Kau pasti dikencinginya.
1998
(http://zhuldyn.wordpress.com)
BUKU TAMU MUSIUM PERJUANGAN
Oleh :
Taufiq Ismail
Oleh :
Taufiq Ismail
Pada tahun keenam
Setelah di kota kami didirikan
Sebuah Musium Perjuangan
Datanglah seorang lelaki setengah baya
Berkunjung dari luar kota
Pada sore bulan November berhujan
dan menulis kesannya di buku tamu
Buku tahun keenam, halaman seratus-delapan
Setelah di kota kami didirikan
Sebuah Musium Perjuangan
Datanglah seorang lelaki setengah baya
Berkunjung dari luar kota
Pada sore bulan November berhujan
dan menulis kesannya di buku tamu
Buku tahun keenam, halaman seratus-delapan
Bertahun-tahun aku rindu
Untuk berkunjung kemari
Dari tempatku jauh sekali
Bukan sekedar mengenang kembali
Hari tembak-menembak dan malam penyergapan
Di daerah ini
Bukan sekedar menatap lukisan-lukisan
Dan potret-potret para pahlawan
Mengusap-usap karaben tua
Baby mortir buatan sendiri
Atau menghitung-hitung satyalencana
Dan selalu mempercakapkannya
Untuk berkunjung kemari
Dari tempatku jauh sekali
Bukan sekedar mengenang kembali
Hari tembak-menembak dan malam penyergapan
Di daerah ini
Bukan sekedar menatap lukisan-lukisan
Dan potret-potret para pahlawan
Mengusap-usap karaben tua
Baby mortir buatan sendiri
Atau menghitung-hitung satyalencana
Dan selalu mempercakapkannya
Alangkah sukarnya bagiku
Dari tempatku kini, yang begitu jauh
Untuk datang seperti saat ini
Dengan jasad berbasah-basah
Dalam gerimis bulan November
Datang sore ini, menghayati musium yang lengang
Sendiri
Menghidupkan diriku kembali
Dalam pikiran-pikiran waktu gerilya
Di waktu kebebasan adalah impian keabadian
Dan belum berpikir oleh kita masalah kebendaan
Penggelapan dan salahguna pengatasnamaan
Dari tempatku kini, yang begitu jauh
Untuk datang seperti saat ini
Dengan jasad berbasah-basah
Dalam gerimis bulan November
Datang sore ini, menghayati musium yang lengang
Sendiri
Menghidupkan diriku kembali
Dalam pikiran-pikiran waktu gerilya
Di waktu kebebasan adalah impian keabadian
Dan belum berpikir oleh kita masalah kebendaan
Penggelapan dan salahguna pengatasnamaan
Begitulah aku berjalan pelan-pelan
Dalam musium ini yang lengang
Dari lemari kaca tempat naskah-naskah berharga
Kesangkutan ikat-ikat kepala, sangkur-sangkur
berbendera
Maket pertempuran
Dan penyergapan di jalan
Kuraba mitraliur Jepang, dari baja hitam
Jajaran bisu pestol Bulldog, pestol Colt
Dalam musium ini yang lengang
Dari lemari kaca tempat naskah-naskah berharga
Kesangkutan ikat-ikat kepala, sangkur-sangkur
berbendera
Maket pertempuran
Dan penyergapan di jalan
Kuraba mitraliur Jepang, dari baja hitam
Jajaran bisu pestol Bulldog, pestol Colt
PENGOEMOEMAN REPOEBLIK yang mulai berdebu
Gambar lasykar yang kurus-kurus
Dan kuberi tabik khidmat dan diam
Pada gambar Pak Dirman
Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali
Ke ruangan yang sepi dan dalam
Jendela musium dipukul angin dan hujan
Kain pintu dan tingkap bergetaran
Di pucuk-pucuk cemara halaman
Tahun demi tahun mengalir pelan-pelan
Gambar lasykar yang kurus-kurus
Dan kuberi tabik khidmat dan diam
Pada gambar Pak Dirman
Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali
Ke ruangan yang sepi dan dalam
Jendela musium dipukul angin dan hujan
Kain pintu dan tingkap bergetaran
Di pucuk-pucuk cemara halaman
Tahun demi tahun mengalir pelan-pelan
Deru konvoi menjalari lembah
Regu di bukit atas, menahan nafas
Regu di bukit atas, menahan nafas
Di depan tugu dalam musium ini
Menjelang pintu keluar ke tingkat bawah
Aku berdiri dan menatap nama-nama
Dipahat di sana dalam keping-keping alumina
Mereka yang telah tewas
Dalam perang kemerdekaan
Dan setinggi pundak jendela
Kubaca namaku disana…..
Menjelang pintu keluar ke tingkat bawah
Aku berdiri dan menatap nama-nama
Dipahat di sana dalam keping-keping alumina
Mereka yang telah tewas
Dalam perang kemerdekaan
Dan setinggi pundak jendela
Kubaca namaku disana…..
(http://zhuldyn.wordpress.com)
WS. RENDRA
AKU TULIS PAMPLET INI
Oleh :
W.S. Rendra
Oleh :
W.S. Rendra
Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an
Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran
resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
Kenapa ketakutan
menjadi tabir pikiran ?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !
Pejambon Jakarta 27 April 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
Potret Pembangunan dalam Puisi
(http://zhuldyn.wordpress.com)
DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG
Oleh :
W.S. Rendra
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan
bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
Mimbar Indonesia
Th. XIV, No. 25
18 Juni 1960
Th. XIV, No. 25
18 Juni 1960
(http://zhuldyn.wordpress.com)
GERILYA
Oleh :
W.S. Rendra
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kesumatnya
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kesumatnya
Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama
Ia beri jeritan manis
dan duka daun wortel
dan duka daun wortel
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Lewat gardu Belanda dengan berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya
Siasat
Th IX, No. 42
1955
Th IX, No. 42
1955
(http://zhuldyn.wordpress.com)
GUGUR
Oleh :
W.S. Rendra
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya
Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
” Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
di atas bumi yang dicintainya
Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
” Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata :
“Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di sini!”
“Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di sini!”
Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya
ketika menutup matanya
(http://zhuldyn.wordpress.com)
CHAIRIL ANWAR
PRAJURIT JAGA MALAM
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !
1948
Siasat,
Th III, No. 96
1949
Siasat,
Th III, No. 96
1949
MALAM
Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
–Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
belum buntu malam
kami masih berjaga
–Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
Zaman Baru,
No. 11-12
20-30 Agustus 1957
No. 11-12
20-30 Agustus 1957
KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara
Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam
sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang
untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam
sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
1948
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957
DIPONEGORO
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Serbu
Serang
Terjang
(Februari 1943)
Budaya,
Th III, No. 8
Agustus 1954
Budaya,
Th III, No. 8
Agustus 1954
NUR AZISAH
(saya sendiri)
AYAH
Oleh: Nur
Azisah
Kuatnya
egomu
Tak
sekuat hatimu
Hatimu begitu lemah tak berdaya
Melihat
sekelabat bayang anakmu jauh darimu
Air
matamu yang selalu mengalir ditengah
malam
Memikirkan
anakmu yang jauh
Hatimu bagai semilir angin dipagi hari
Sesosok
ayah yang keras tetapi memiliki jiwa yang teramat lemah
Kau
ayahku
Ayah
yang aku cinta
Ayah
yang kuat
Tetapi
mudah mengeluarkan air mata untuk anaknya.
MAMA
Oleh : Nur
Azisah
Mama..
Kau itu sebenarnya apa?
Apakah
bidadari yang dikirimkan Allah kepadaku?
Ataukah
sesosok kartini kedua dihidupku?
Mama..
Kau itu seperti apa?
Aku
merasa kau bagaikan buku pedoman yang selalu menemaniku
Yang
mengingatkan hatiku untuk menjaga diri disini..
Mama..
Kau ini untuk siapa?
Aku
pikir kau mendedikasikan jiwamu
untuk Allah
Dan
menjual dirimu kepada keluarga yang
engkau cintai
Mama..
Kau
ini apa?
Kau
begitu kuat,
Jauh
lebih kuat dari Ayah..
Hati
dan jiwamu bagai sebuah gembok yang
begitu kokoh
Yang
aku harap tak akan goyah
Cinta
katanya indah
Oleh : Nur Azisah
Mengapa
aku?
Mengapa
kamu?
Mengapa
harus engkau yang kucinta
Cinta
ini benar sakitnya
Cinta
katanya indah
Tapi..
akhirnya begitu pedih
Seakan
merobek jantung ini
Seakan
siap menarik nyawa meninggalkan raga
Iya..
Cinta
memang indah
Tapi
hanya pada awalnya
Tetapi
ketika kau tau bahwa anganmu tak
akan terjadi
Kau akan terjatuh lalu mati
Dan..
Orang-orangpun
menertawaimu
Sembari
mengejekmu karena bodoh jatuh cinta pada kaktus itu.
Jika
hanya dengan melihatmu
Oleh : Nur Azisah
Jika
dengan melihatmu aku sebahagia ini
Akan
aku tutup semua jendela rumahku
Lalu
kutatap kau dari balik jendelaku tanpa terganggu
Oleh
bunyi kikuk merpati
Jika
dengan memandangmu
Menjadikan
aku sebahagia ini
Maka
aku tidak ingin tertidur lagi
Agar
tidak terlewatkan oleh ekspresi bunyi ketukan cintamu
Jika
hanya dengan melihatmu hatiku ingin
meledak
Karena
bahagia
Maka
akan kututup mataku
Lalu
bersiap untuk mendengar suaramu
Agar
aku dapat mati dengan bahagia.
Setelah membaca
puisi-puisi dari penyair ternama diatas :-P maka dapat kita simpulkan diksi
puisi dari;
1. Amir
Hamzah: Dari puisinya yang berjudul “Padamu Jua, Hanyut Aku, Doa Poyongku, dan
Hnaya Satu”, banyak memiliki kata-kata yang berunsur kasih sayang, seperti pada
kata “cintaku, kekasihku, sayang, kasihmu, keksihmu, kekasihku”. Seakan-akan ia
tujukan kepada seseorang yang ia cintai. Yang mengganti sebuah surat menjadi
sebuah bentuk puisi yang indah yang ia khususkan untuk kekasihnya yang begitu
ia cintai. Yang menggambarkan kebesaran cintanya kepada seorang kasih yang
begitu sempurna dihatinya.
2. Taufiq
Ismail:dari puisinya yang berjudul “Larut Malam Suara Sebuah Truk, Bagaiimana
Kalau, Bayi Lahir Bulan Mei 1998, Buku Tamu Musium Perjauangan”, banyak memiliki
unsure yang berkesimpulan pada tanah air yang dibuktikan dengan adanya
kata-kata seperti “laskar, kota, negeri, lagu Indonesia raya, ibukota Amerika,
ibukota Indonesia, gunung Sahari, Indonesia, pemerintah, petani di desa,
mensubsidi, kota kami, musimu perjuangan, berkunjung diluar kota, potret-potret
para pahlawan, museum, PENGOEMOEMAN REPOEBLIK, di depan tugu, perang
kemerdekaan”. Menggambarkan kepeduliannya kepada tanah airnya. Dan patut di
sangka bahwa beliau sangat mencintai Negaranya yaitu Indonesia.
3. WS.
Rendra:dari judul puisinya yang berjudul “Aku Tulis Pamplet Ini, Doa Seorang
Serdadu Sebelum Berperang, Gerilya, Gugur”. Banyak kata-kata yang berunsur
akhir dari sebuah kehidupan, yang terpatri dari kata-kata sebagai berikut; “monopoli
kekuasaan, ketakutan, airmat, keagamaan, lumpur kehidupan, Tuhanku, kuburan,
kehilangan bapak, membunuh, menusukkan sangkurku, kugenggam senapanku, tubuh
biru, tujuh lubang pelor, tubuhnya, ngubur, pelor, merangkak, maut, jiwa,
ketika menutup mata”. Menggambarkan seakan-akan kehidupan orang-orang
disekitarnya begitu pedih, sakit dan membutuhkan Tuhan. Yang selalu berkeluh
kesah kepada Tuhannya. Yang membutuhkan kehidupan yang lebih baik lagi dari
yang ia hadapi saat ini. Yang juga menggambarkan kehidupannya saat itu begitu
hancur tanpa Tuhan.
4. Chairil
Anwar:pada puisi-puisinya yang berjudul “Prajurit Jaga Malam, Malam,
Krawang-Bekasi, dan Diponegoro (andalan saya, dari SMP disuruh hapal)”. Banyak
kata-kata yang bermakna kami adalah pemuda pembela bangsa, yang terbukti dari
kata-katanya yang bertulis “kami, pemuda-pemuda, berselempang semangat, dan
mereka”. Dari puisinya ia menyatakan bahwa aku dan teman-temanku akan selalu
bersemangat membela Negeriku. Ia mengatakannya dengan jelas pada isi-isi
puisinya yang rata-rata bertema pemuda negeri kami.
5. Nur
Azisah:ehemm… sekarang giliran saya. Pada puisi saya yang berjudul “Ayah, Mama,
Cinta Katanya Indah, Jika Hanya Dengan Melihatmu”, banyak bermakna berbicara
kepada objeknya seperti pada kata “kamu, mu, engkau, kau”. Seakan-akan penyair
yang satu ini bercerita kepada objeknya. Alias mengungkapkan isi hatinya kepada
orang yang dijadikannya objek. Berkeluh-kesah kepada mereka. Ya.. bisa
dikatakan curahan hati si penyair yang satu ini. Bercerita melalui puisi, bukan
bercerita pada sebuah diari yang menurut saya *maaf* terlalu manja dan
blak-blakan.
0 komentar:
Posting Komentar